Suatu hari di malam yang berbintang, si Humer kecil bernama 90 menemukan takdirnya. Dia melemparkan pesawat mainan, dan mendadak, pesawatnya menjadi semakin besar, dan besar! Keajaiban pun dimulai dari sana, Anda akan dibawa ke alam imajiner, sesuatu yang tidak pernah Anda alami sebelumnya.
Tenang saja, Anda masih membaca Studentpreneur, bukan buku dongeng. Cuplikan di atas adalah cuplikan dari “The Little Postman”, salah satu karya gemilang dari Papercaptain Studio milik Evan Raditya Pratomo. Evan, sapaan akrabnya, melakukan eksplorasi
yang luar biasa untuk karya-karya desain bertema anak-anak. Melalui bendera Papercaptain, Evan tak henti-hentinya membuat orang kagum dengan karyanya, serta tentunya mendapatkan penghasilan yang tidak main-main. Mari kita belajar dari Evan Sobat Studentpreneur!
Kenapa namanya Paper Captain?
Ceritanya, waktu Juni 2011, pen tablet Saya rusak, akhirnya Saya terpaksa menggunakan mouse untuk menggambar. Ketika itu Saya ingin menggambar anak laki-laki yang menaiki seekor naga. Eh, justru Saya menggambar dengan kombinasi warna berani, merah, biru, oranye, dan tekstur rough dari mouse membuat image “kertas” muncul di benak Saya. Anak laki-laki tersebut juga malah terlihat seperti seorang “kapten”. Saya langsung teringat ketika masih kecil papa sering memberi Saya kertas untuk digambar, Saya seperti seorang kapten yang menguasai sesuatu, kertas, Papercaptain!Maka pada Juni 2011 itu, Saya mengetikkan nama “Papercaptain” untuk petama kalinya.Sebelum mendirikan Papercaptain, Anda adalah seorang desainer grafis yang sangat bagus, bahkan pernah ditawari co-founder DevianArt untuk ke Amerika. Kenapa justru memilih mendirikan Papercaptain?
Sebelumnya, passion Saya dalam dunia ilustasi anak-anak sudah ada sejak 2010. Namun sebelum ada Papercaptain, Saya menggunakan nickname evanrp. Entah kenapa pertama kali Saya menggunakan nama Papercaptain, Saya merasa sangat excited, beda dengan ketika menggunakan nickname evanrp. Akhirnya, keberanian yang Saya pendam selama setahun penuh bisa Saya keluarkan, keberanian untuk membuat studio ilustasi anak-anak dengan bendera “Papercaptain”. Meskipun konsep Papercaptain pada waktu itu masih sangat rough, intinya suatu hari nanti kalau orang-orang butuh jasa ilustrasi, desain, dan apapun yang berbau anak-anak, mereka bisa menghubungi Papercaptain.
Saat ini, Papercaptain sudah mengeluarkan produk apa saja?
Papercaptain sudah meluncurkan beberapa buku cerita anak kerjasama dengan beberapa penulis anak terkenal. Namun yang paling Saya banggakan tentu saja buku “The Little Postman” yang diproduksi Papercaptain sendiri. Selain itu, Papercaptain bekerja sama dengan salah satu produsen biscuit terbesar di Indonesia untuk membuat mainan anak. Nantinya, mainan anak ini akan menjadi bonus untuk setiap pembelian produk biscuit tersebut.
“The Little Postman” seems interesting. Bisa sedikit diceritakan detailnya?
Untuk “The Little Postman”, konsep, cerita, dan gambar dari Saya sendiri, itulah kenapa Saya sebut spesial. The Little Postman awalnya hanya salah satu cerpen dari kumpulan kisah-kisah “Storytopia”, dimensi lain dari “Papercaptain Studio”, dimana mascot Papercaptain, yaitu si Little Postman tinggal. Saya merasa sangat attached dengan cerpen ini, hingga akhirnya Saya kembangkan sampai menjadi buku “The Little Postman”.
Wow, terdengar sangat imajiner. Ada lagi project imajiner dari Papercaptain?
Selain “The Little Postman”, Saya juga membuat sebuah buku cerita hitam putih berjudul “The Sound of Wooden Crutches” atau suara kruk kayu. Kisahnya ini terinspirasi dari almarhum kakek Saya yang menderita polio. Buku ini Saya ikutkan dalam kompetisi Daekyo Book. Doakan saja menang di skala nasional jadi berhak mewakili Indonesia di skala internasional ya!
Pasti! Oh iya, tentang kerjasama dengan produsen biscuit tadi, artinya Papercaptain merambah dunia lain selain buku cerita anak?
Untuk Papercaptain, ini adalah pembuktian khusus karena berhasil merambah pasar lain di luar buku anak, namun dengan konteks tetap dunia anak. Saat ini Papercaptain sudah saya daftarkan brandnya, sehingga kedepannya bisa masuk ke stationery, fancy, dan apapun yang berhubungan dengan anak-anak. Waktu mendaftarkan logo, Papercaptain sempat digugat oleh “Paper Clip” yang juga terkenal, dengan alas an mirip. Untung sekarang sudah clear masalahnya, dan brand Papercaptain tetap bisa dipakai.
Berapa omzet rata-rata yang Anda dapatkan tiap bulan?
Sekarang sih di atas 10 juta per bulan. Tapi Papercaptain pasti terus berkembang.
Saat ini kan mulai banyak brand yang focus ke produk anak-anak. Apa yang membuat Papercaptain standing out?
Di Papercaptain, selalu ada “let’s make a story inside a story”. Contohnya ni, ketika harus membuat ilustrasi kartu undangan pernikahan, klien ingin menggunakan konsep “aku ingin pasanganku mengatarkan eskrim malam-malam untuk aku”. Nah karena ini Papercaptain, harus ada suasana dongeng anak-anaknya. Akhirnya malah Saya kerjakan dengan konsep dongeng Rapunzel. Saking kerennya, pernah dimuat di sebuah media Inggris. Entah itu buku cerita, ilustrasi bebas, bahkan untuk klien serius, semua pasti ada sistem “let’s make a story inside a story”.
How to stay creative?
Karena hampir itu yang tidak ada hubungannya dengan dunia anak-anak, agar seimbang. Saya suka membaca National Geographic, Traveler, dan mendengarkan lagu. Untuk referensi yang Saya gunakan di Papercaptain tentunya tetap buku cerita anak, novel anak, Donal Bebek, dan Doraemon. Saya juga membuat “Papercaptain Rules”, nilai-nilai yang harus dipatuhi apapun project di Papercaptain.
Siapa inspiratorAnda?
Ada dua sih, pertama adalah Art Director Animal Logic bernama Charles Santoso. Dia yang membuat Saya mempunyai konsep “story inside the story”. Pak Sakti Makki, pendiri MakkiMakki juga memberi Saya inspirasi. Kerennya lagi, Pak Sakti Makki mendukung Papercaptain dan merasa bahwa Saya sudah berada di jalur yang benar.
Anda memulai Papercaptain ketika masih kuliah, apa tidak terganggu?
Tidak kok, Sayamenikmati setiap proses dari Papercaptain dan tidak merasa seperti sebuah beban. Untungnya, pihak kampus Saya, juga mendukung. Misalnya waktu pameran Bienalle Jatim 2011 dan di House of Sampoerna, kampus membantu mencetak 3 buahkarya Papercaptain di ukuran kanvas raksasa.
Mood adalah lawan hampir semua desainer. Bagaimana cara Anda melawannya?
Biasanya Saya justru berkarya sesuai dengan mood yang terjadi waktu itu. Contoh, Saya menggunakan aliran romantisme yang terpengaruh dari seni visual, musik, dan filosofis, sehingga karya memiliki cerita emosional, dinamis, dan imajiner. Seperti kata Casper David Friedrich, “the artist’s feeling is his law”. Kalau kondisi mood benar-benar hancur, Saya memilih untuk menjauhi perangkat elektronik dan membaca berbagai buku.Mari berdiskusi di kolom komentar! Anda juga bisa mendapatkan informasi bisnis anak muda kreatif melalui Facebook atau Twitter Studentpreneur.
Rabu, 17 September 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar